Selasa, 15 Januari 2008

Pantai Bagedur



Sinar mentari menerangi lautan Bagedur dengan warna keemasan. Burung berkicau menyambut sang mentari. Angin bertiup sepoi-sepoi, membangunkan manusia dengan kelembutannya.


Pantai Bagedur, pantai ini terletak di kec. Malingping, kab. Lebak, Banten. Pantai yang indah ini adalah salah satu objek wisata di wilayah Banten Selatan. Pantai ini masih alami, suasananya benar-benar menjadikan pengunjung santai dan damai.


Nama Bagedur sendiri diambil dari nama sebuah meriam, “aki” (kakek—red) Bagedur dan “nini” (nenek—red) Bagedur. Mereka dianggap sebagai pasangan yang dulunya selalu menjaga pantai ini. Mungkin belum banyak orang yang tahu tentang keindahan pantai ini, pantai ini sangat kurang publikasinya.


Pantai ini tidak berombak besar, tidak bisa dijadikan arena untuk olahraga ski air atau selancar air. Pantai ini memiliki keistimewaan tersendiri, dengan keindahan melihat sinar mentari tenggelam, siapapun tak akan sanggup melewatkan keindahan Tuhan ini. Tak hanya itu, pengunjung pun dapat menyaksikan langsung penangkapan ikan oleh para nelayan, tapi bukan menggunakan kapal atau perahu, melainkan jaring.


Jaring tersebut akan dilepaskan oleh para nelayan tadi dengan cara berenang ke lautan. Nelayan tersebut kembali ke pantai dan mengulur tali jaring tersebut sehingga jaring akan terbawa arus hingga ke tengah lautan. Agar nelayan dapat mengetahui dan jaring bisa tetap berada di sekitar permukaan laut maka digunakan gabus.


Tidak hanya itu saja, wisatawan juga seperti diajak kembali ke kehidupan sederhana namun sehat. Pantai Bagedur tidak memiliki kendaraan seperti All Track Vehicle (ATV), kendaraan seperti motor yang bisa berjalan di segala jenis jalur. Kendaraan yang ada di pantai ini hanya kerbau, sedikit terlihat jijik dan norak? Kalau Anda sadar akan masalah yang terjadi saat ini (global warming) maka Anda akan sangat setuju dengan kendaraan yang satu ini, santai dan ramah lingkungan.


Paling enak dan nikmat menikmati pantai ini adalah dengan cara datang pada saat musim kepiting. Anda bisa membeli kepiting langsung dari nelayan, dengan harga yang murah dan tentu saja kepiting yang masih bergerak/hidup. Cara pengolahannya ringkas saja, cobalah buat api unggun kemudian masukan kepiting yang dibeli tadi ke dalam api unggun tersebut. Setelah terlihat atau tercium harum yang sangat enak, kemungkinan kepiting tersebut telah matang.


Angkatlah kepiting tadi dengan kayu kemudian buka cangkang kepitingnya. Setelah itu Anda harus menelusuri setiap bagian dari tubuh kepiting tersebut, karena daging kepiting yang sangat lezat itu berada di sela-sela cangkang yang keras. Cobalah patahkan kedua capit kepiting, lalu hancurkan capitnya dengan gigi Anda, apa yang terjadi? Harta karun berupa makanan lezat akan Anda temukan, tidak hanya itu di tubuh kepitinglah yang paling banyak dagingnya.


Anda janganlah malu untuk menyedot dan sedikit mengunyah “tulang-tulang: kepiting tersebut. Daging kepiting sangatlah lezat, juga terdapat energi yang sangat besar dalam daging tersebut. Saya jamin Anda tidak akan puas dengan memakan satu atau dua ekor kepiting, Anda akan selalu berkata, “lagi, lagi, dan lagi”.


Paling nikmat makan kepiting itu di malam hari, apalagi cuaca mendukung (cakung). Langit yang hitam kelam ditaburi bintang yang berkilauan ditambah api unggun dan kepiting atau cumi bakar sebagai santapan malamnya, dijamin malam itu akan menjadi malam yang paling indah bagi Anda dan kekasih atau teman dekat Anda.


Pantai Bagedur memiliki lahan perkemahan yang cukup luas, dihiasi dengan pohon kelapa yang pendek namun berbuah banyak dan hijau, uh…pasti membuat Anda bertambah nyaman. Sebaiknya Anda tidak menginap di hotel, lebih baik membuat tenda, layaknya Anda sedang berkemah. Hal ini selain membuat Anda mandiri, solidaritas dan kebersamaan bersama kekasih atau teman pun akan terjalin dengan sangat baik.


Pantai ini pun bisa dijadikan lahan olahraga, seperti main bola sepak, voli, lari, bahkan jalan santai. Pantai ini memiliki lahan pantai yang cukup luas antara daratan dan bibir pantai sehingga banyak aktivitas yang bisa dikerjakan di sana. Pada intinya, pantai ini menyajikan ketenangan, kedamaian, kesederhanaan, solidaritas, dan keramahan pada lingkungan.


Cobalah Anda datang ke pantai ini, maka apa yang saya ungkapkan di atas tadi bukanlah sebuah bualan atau omong kosong, namun sebuah kenyataan yang harus Anda saksikan sendiri dengan mata kepala Anda sendiri. Apabila Anda berada di wilayah Jakarta, Anda harus menempuh perjalanan ±5 jam menggunakan kendaraan pribadi untuk sampai ke pantai ini.


Jalur yang bisa Anda gunakan adalah dari tol Jakarta-Merak, Anda keluar tol ke pintu tol Serang Timur, setelah itu Anda ikuti saja jalan ke arah Pandeglang, dari daerah Pandeglang Anda terus melaju ke arah Malingping, Anda pun akan sampai di pantai Bagedur yang indah ini. Apabila Anda berkendaraan dengan kendaraan umum, dari arah Jakarta anda naik angkutan umum (bis) ke Serang, Cilegon, atau Merak, turunlah di terminal Pakupatan-Serang, dari situ Anda hanya tinggal naik kendaraan umum jenis elf tujuan Malingping atau Binuangeun.


Bila Anda berada di Bandung dan sekitarnya, ada dua jalur yang bisa Anda ambil, pertama masuk tol Bandung-Jakarta-Merak, dan jalurnya sama seperti di atas, lamanya perjalanan dengan kendaranaan pribadi ±6-7 jam. Kedua, Anda menuju Sukabumi lalu terus berlanjut ke arah Malingping, arah ini lebih dekat daripada arah ke Merak, sepanjang jalan dari Sukabumi-Malingping, Anda akan disuguhi pantai yang indah di sebelah kiri perjalanan Anda.

Kampung Suku Baduy


Baduy adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Suku ini sangat tertutup dengan kemajuan jaman. Mereka tidak ingin kebiasaan atau budaya mereka tercampur oleh budaya luar.


Suku Baduy terletak di Kab. Lebak, Provinsi Banten, dengan lingkungan yang sangat sejuk, pepohonan yang masih dijaga, mereka tinggal dengan damai. Solidaritas sesama orang Baduy sangat erat, mereka tidak pernah bertengkar, Pu’un (kepala suku) Baduy sangat bijaksana dan berwibawa dalam menjalankan tugasnya.


Menurut sejarah masyarakat Banten, suku Baduy ini adalah turunan dari Prabu Siliwangi yang dulunya kabur karena kerajaannya diserang oleh kerajaan Islam pada saat itu. Sang Prabu melarikan diri ke hutan belantara bersama para tentaranya, dan mereka pun mendirikan sebuah komunitas, yaitu Baduy yang dikenal saat ini. Suku ini tidak mengenal peralatan elektronik bahkan aliran listrik sekalipun.


Kegiatan mereka sehari-hari hanya bercocok tanam, tidak seperti petani lainnya, suku baduy tidak menggunakan sawah untuk menanam padinya. Ngahuma (menanam padi di tanah kering), itulah cara yang mereka lakukan untuk menanam padi. Sebelum menanam mereka melakukan upacara adat, tujuannya agar proses penanaman hingga panen diberkahi oleh Sang Hyang Widi (Tuhan mereka).


Setelah musim panen tiba maka mereka juga merayakannya dengan sebuah upacara adat, sebagai ucapan rasa syukur kepada Sang Hyang Widi. Setelah itu padi pun akan dimasukkan ke dalam sebuah gubuk khusus penyimpanan padi (leuit). Suku Baduy tidak pernah kekurangan beras, tidak ada yang berebut beras, setiap keluarga memiliki satu atau bahkan lebih leuit.

Padi yang di leuit tersebut ada yang berumur puluhan tahun, karena sangat banyaknya dan tidak termakan. Padi-padi ini tidak bisa dimakan oleh tikus, pemikiran mereka walaupun sederhana tapi prinsipnya sangat modern. Kaki-kaki leuit diberikan kayu seperti kepingan cd tapi agak tebal, sehingga tikus tidak bisa melewati kayu tersebut dan padi pun akan aman selamanya.


Leuit ini didirikan jauh dari komplek perumahan suku Baduy. Walaupun jauh dari pengawasan sang pemilik tapi padi-padi tersebut tetap aman, bagaimana tidak setiap keluarga memiliki satu bahkan lebih leuit.


Jumlah rumah suku Baduy tidak akan bertambah, jumlah di setiap desa kira-kira 40 unit rumah. Mereka akan tetap menetap di rumah mereka hingga mereka memiliki anak cucu, anak dan cucu mereka juga akan tetap tinggal di rumah itu sampai mereka tua. Bagi orang Baduy yang ingin menjalani kehidupan layaknya masyarakat biasa (memakai baju pasar, mendapat listrik, dan sebagainya) mereka wajib keluar dari desa tersebut.


Tidak ada larangan bagi mereka yang ingin keluar dari suku Baduy, tapi dengan syarat tidak boleh kembali lagi ke suku ini. Pakaian yang dikenakan suku Baduy berwarna putih, bagi laki-laki bajunya seperti jas tapi tidak ada lengannya dan celana seperti rok mini. Pakaian perempuan lebih tertutup daripada laki-laki, potongan dan warnanya sama.


Mereka juga memiliki hutan larangan, semua orang baik wisatawan bahkan suku Baduy sendiri tidak boleh masuk ke dalam hutan tersebut. Hanya keluarga Pu’un yang boleh masuk ke dalam hutan tersebut. Kepemimpinan yang dipakai suku Baduy seperti kerajaan, artinya bila ayahnya Pu’un maka anak laki-lakinya lah yang akan menggantikannya.


Suku ini tidak memiliki agama, mereka hanya percaya pada roh-roh nenek moyang mereka (animisme). Agama yang mereka anut disebut Sunda Wiwitan. Pu’un dianggap sebagai presiden kedua setelah presiden Republik Indonesia.


Tidak ada transportasi untuk mengangkut barang atau orang-orang Baduy, mereka hanya mengandalkan otot. Misalnya orang Baduy ingin ke Jakarta, maka yang dilakukannya adalah berjalan kaki. Walaupun sedikit demi sedikit mereka telah mengetahui uang, mereka hanya menggunakannya sebagai alat tukar dari oleh-oleh yang diperjual belikan ke wisatawan. Alat transportasi (mobil, motor) tidak digunakan sama sekali oleh mereka, mereka sangat takut bila berkendara akan ada balasan dari Sang Hyang Widi mereka.


Di siang hari, desa suku Baduy sangat lengang, hampir tidak ada orang yang tinggal di rumah, karena semuanya pergi ke kebun untuk bercocok tanam. Hanya beberapa orang yang tinggal untuk berjaga-jaga dan menyambut bila ada tamu yang datang. Mereka sangat sopan dan polos, selintas setiap permasalahan yang diucapkan sangat lucu tapi itu bisa dikatakan dasar suatu logika.


Saya beri contoh, rumah suku Baduy terbuat dari kayu yang dibuat sedemikian rupa dan atap dari pohon injuk pohon aren yang sangat mudah terbakar. Dapur mereka di dalam rumah, menggunakan hau (kompor dengan bahan bakar kayu). Lantai rumah panggung ini terbuat dari kayu juga, untuk dapur hanya dilapisi bahan-bahan yang anti bakar seperti bata atau lainnya.


Melihat keadaan seperti itu saya bertanya pada salah satu penduduk Baduy, kunaon dapur na jiga kitu, te sieun kahuruan (kenapa dapur nya seperti itu, apa tidak takut kebakaran)? Penduduk itu pun menjawab, te sieun kula mah, arek di luar geh wancina kahuruan mah pasti kahuruan, urang bae kudu rapih (saya tidak takut, walaupun di luar rumah juga saatnya kebakaran maka akan kebakaran, tinggal kita saja yang harus berhati-hati).


Contoh lainnya adalah tentang bercocok tanam, sebuah pertanyaan melintas dalam pemikiran saya mengapa mereka bercocok tanam dengan ngahuma. Apa jawaban mereka? Bila kita bercocok tanam dengan dicangkul maka cacing akan mati dan tanah tidak akan subur. Cacing lah yang menjadikan tanah itu subur, maka dalam bercocok tanam tanah tidak boleh dicangkul.


Tidak sembarangan wisatawan bisa datang ke suku ini, sebulan atau seminggu sebelum datang ke Baduy, wisatawan harus mengkonfirmasi ke penduduk di luar Baduy, apakah suku Baduy sedang melakukan upacara adat atau tidak. Suku Baduy memiliki beberapa upacara adat, ada yang boleh dilihat oleh umum dan ada yang tertutup untuk umum. Suatu keberhasilan bila kita datang di saat upacara adat yang terbuka untuk umum.


Wisatawan harus berjuang keras untuk sampai di suku Baduy ini, karena dari jalan raya wisatawan harus berjalan kaki, kira-kira 2km dengan jalur yang naik turun. Maklumlah, suku ini bertempat di pedalaman dan dikelilingi oleh pegunungan. Tapi keletihan perjalanan tersebut akan terbayar dengan melihat langsung kampung suku Baduy dan merasakan air minumnya yang segar.


Cobalah Anda datang ke suku Baduy ini, lihat apa yang mereka terapkan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Bawalah sistem kehidupan atau tata negara mereka, gunakanlah untuk Indonesia, niscaya Indonesia akan aman, damai, dan sejahtera.

Sabtu, 12 Januari 2008

Merajut Asa di Puncak Pangrango


Hijau pepohonan menyelimuti pandangan yang menyiratkan keasrian di jalan yang melewati pasar Cimacan itu. Desiran angin seakan membawa puluhan pendaki bersiaga menghadapi tajamnya udara di puncak yang dituju. Serta alunan riuh penduduk berdagang dibalik barang-barang yang ditawarkannya menambah semarak kehidupan di alam yang masih perawan.

Dalam perjalanan terlihat dengan jelas dua puncak ‘bersaudara’ (Gunung Gede dan Pangrango, red) tegak dengan gagah, menjulangkan kepalanya ke gumpalan awan yang tenang bertugas untuk menghindari “kakak-adik” dari sinar mentari. Di depan mata tanjakan curam menantikan peluh mengalir dengan deras. Paling tidak rasa lelah akan menghampiri para pendaki setiap langkah.

Pendakian ke Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Pangrango (3019 mdpl), yang berada di antara tiga Kabupaten, Bogor, Sukabumi dan Cianjur ini, tidak akan terlaksana jika pendaki tidak meminta surat ijin yang biasanya dipesan tiga hari sebelum mendaki. Identitas diri para pendaki harus lengkap diserahkan kepada kantor perijinan Taman Nasional Gede-Pangrango melalui faximili. Setelah para pendaki tiba di kantor yang berada tepat di bawah kaki kedua gunung tersebut, para pendaki langsung meminta surat yang mereka pesan dan membayar uang sejumlah Rp 7000 per orang.

Setelah surat perijinan berada ditangan pendaki setapak demi setapak pendaki gunung akan menuju pos pemeriksaan (check point) yang jaraknya sekitar lima menit perjalanan. Di pos pertama ini barang-barang diperiksa dengan teliti oleh petugas. “Coba dek lihat tasnya,” ujar seorang petugas yang berseragam coklat mirip seragam pramuka. “Takutnya ada yang bawa golok, trus bawa edelweiss dari atas,” tambahnya.

Hmm..! Pantas saja jika di Taman Nasional Gede-Pangrango disediakan pos pemeriksaan yang begitu ketat. Sebab Taman Nasional Gede-Pangrango adalah salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama. Juga merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kalinya diumumkan di Indonesia pada tahun 1980.

Selesai dengan pemeriksaan di check point, pendaki bersiap-siap serta memanjatkan doa kepada Tuhan yang telah menciptakan keindahan alam sekitar Gede-Pangrango yang oleh UNESCO ditetapkan sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977, dan sebagai Sister Park bersama Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995.

Beberapa meter dari pos pemeriksaan terdengar para insecta bersahutan mengeluarkan bunyi yang mendamaikan jiwa. Semangat yang membara untuk menaklukkan puncak tertinggi kedua di Jawa Barat itu seakan meluluhlantahkan penat yang dirasakan. Alhasil, keringat pun berkucuran membasahi seluruh anggota tubuh.

Lambaian daun-daun pinus di antara jalan setapak berbatu mengisyaratkan ajakan tiada henti bagi para pendaki untuk terus berjuang. Walaupun tanjakan panjang yang bisa melemaskan kaki menanti setiap saat. Untungnya, terdapat beberapa pos peristirahatan yang setidaknya bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan tenaga atau untuk sekedar memanjakan tubuh.

Pos Peristirahatan

Setelah sekitar satu jam perjalanan dari pos pemeriksaan, terdapat pos peristirahatan pertama yang bernama Telaga biru. Asal muasal dinamakan telaga biru karena di pos ini terdapat sebuah telaga yang cukup besar, sekitar lima hektar dan berada di 1.575 mdpl. Telaga ini tampak kebiru-biruan diterpa sinar mentari karena ditutupi ganggang biru . Perjalanan dilanjutkan dengan melintasi sebuah jembatan kayu yang tersusun rapih dengan panjang sekitar satu kilometer.

Gemericik air di sungai yang tidak terlalu besar di samping jembatan kayu itu menambah pesona indahnya alam. Dari jembatan ini terlihat agungnya Gunung Gede dan Pangrango dari kejauhan. Dan tak jarang sebagian pendaki beristirahat ataupun sekedar mengabadikan gambar alam sekitar dalam kamera.

“Siapkah Anda Mendaki? Periksa Perlengkapan”. Kata-kata ini terpampang jelas pada papan yang berada di pos peristirahatan kedua, Panyangcangan Kuda. Di pos ini, jalur pendakian dibagi menjadi dua, ada jalur menuju pos Air Panas dan jalur satunya menuju Objek Wisata Air Terjun Cibereum. Terlihat dengan jelas jalan menanjak yang hanya berbatu dan dihiasi akar-akar besar pepohanan yang menjulang tinggi. Di akhir pekan, biasanya pos ini diramaikan para pengunjung yang akan berekreasi ke Wisata Air Terjun Cibeureum.

Ratusan pohon tinggi seperti jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan puspa (Schima wallichii) menyelimuti jalanan setapak nan curam menuju pos Air Panas (hot spring). Juga tumbuhan yang sering berada di pegunungan seperti pakis haji dan daun poh-pohan (bahasa Sunda). Pemandangan tidak mengenakkan terlihat ketika terdapat sebuah pohon besar tumbang. Tapi bukan karena ditebang manusia melainkan tumbang karena mungkin usianya yang telah tua atau dirobohkan angin kencang. Pohon tumbang ini makin mempersulit jalur pendakian karena mengahalangi jalan yang hanya setapak itu.

Di jalur ini pula para pendaki melewati kepulan asap uap beserta air panasnya yang mengalir membelah jalan setapak berbatu. Terdapat papan yang bertuliskan “Hati-hati Anda Memasuki Aliran Air Panas” yang diletakkan di dahan pohon. Hawa panas yang berasal dari aktivitas magma dalam bumi tersebut terasa menyegarkan. Namun, pendaki harus konsentrasi dan ekstra hati-hati agar tidak terpeleset dan jatuh ke jurang yang curam karena jalan yang amat licin. Namun jangan kuatir, untaian tali tambang akan membantu pendaki agar tidak terjerumus ke dalam jurang air panas.

Pos peristirahatan berikutnya adalah pos Kandang Batu. Untuk mencapai pos ini para pendaki membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam perjalanan.. Di pos ini, banyak pendaki yang sering tersesat. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa jalur yang terbagi (death way). Dan untuk mengantisipasinya, dibuatlah tanda dengan mengikatkan tali pada batang-batang pohon yang harus dilalui.

Setelah menempuh 2,4 km dan memakan waktu hampir dua jam dari pos sebelumnya, sampailah para pendaki di pos Kandang Badag. Nama Kandang Badag sendiri, diambil dari bahasa sunda yang berarti kandang besar. Di pos ini para pendaki biasanya mendirikan tenda untuk sekedar melepas lelah ataupun dahaga. Hal ini mengingat Kandang Badag merupakan pos terakhir sebelum puncak Gunung Gede ataupun Pangrango.

Setelah beberapa waktu berjalan dari pos Kandang Badag, kita akan menemukan papan petunjuk yang bertuliskan “Kiri Gunung Gede, Kanan Gunung Pangrango”. Disinilah yang membedakan antara jalur menuju puncak Gunung Gede dan Pangrango. banyak pendaki mengatakan bahwa track Gunung Pangrango lebih berat daripada Gunung Gede.

Butuh sekitar tiga jam lamanya menuju puncak Pangrango dari pos Kandang Badag. Di jalur ini, pendaki disuguhi pemandangan yang tak biasa ditemukan di bawah sana. Tumbuhan seperti rumput Isachne pangerangensis, bunga eidelweis (Anaphalis javanica), violet (Viola pilosa), dan cantigi (Vaccinium varingiaefolium) tersebar tak teratur.

Dan rasa lelah maupun letih yang telah memuncak pun hilang seketika, sesaat terlihat sebuah pondokan yang diatasnya terpampang papan bertuliskan “Puncak Pangrango 3019”. Puncak tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Gunung Ceremai itu berada di depan mata para pendaki yang mengeluarkan suara-suara penuh kegembiraan.

Jangan Lupa, Lembah Mandalawangi!

Gemuruh angin meniupkan butir demi butir tanah merah terbang mengikutinya. Edelweiss menari-nari bagai nyai sinden berjaipong ria. Taburan bunganya seakan menaburkan benih cinta bagi para pendaki.

Peluh, letih, gembira bahkan rasa cemas hinggap dalam pikiran setiap pendaki. Tak ada obrolan-obrolan tentang perasaan yang dapat terucapkan. Hanya suara-suara kebanggaan yang terdengar lirih di telinga. Anehnya, suara-suara itu terdengar setelah para pendaki telah menuruni sekitar 200 meter dari puncak pangrango.

Pendaki gunung pasti gembira jika telah berada di puncak sebuah gunung. Mereka akan mendirikan tenda dan menginap di ujung pendakian tersebut. Namun tidak demikian jika mendaki Gunung Pangrango. Puncak bukanlah akhir pencapaian, melainkan jalan yang harus ditempuh untuk bisa mencapai sebuah tempat yang sangat terkenal, yaitu Lembah Mandalawangi.

Hamparan savana yang bertabur edelweiss lima belas menit ke arah bawah timur dari puncak Pangrango tersebut merupakan tempat yang diidam-idamkan oleh para pendaki. Hingga mata seakan rabun karena pesona yang mengisyaratkan kemegahan sang pencipta yang menabur jutaan cinta dalam setiap putiksari edelweiss. Pantas saja So Hok Gie merekam semua keindahan Pangrango dalam sebuah petuah bijak, “Aku mencintai Pangrango karena aku mencintai keberanian hidup.”