Selasa, 15 Januari 2008

Kampung Suku Baduy


Baduy adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Suku ini sangat tertutup dengan kemajuan jaman. Mereka tidak ingin kebiasaan atau budaya mereka tercampur oleh budaya luar.


Suku Baduy terletak di Kab. Lebak, Provinsi Banten, dengan lingkungan yang sangat sejuk, pepohonan yang masih dijaga, mereka tinggal dengan damai. Solidaritas sesama orang Baduy sangat erat, mereka tidak pernah bertengkar, Pu’un (kepala suku) Baduy sangat bijaksana dan berwibawa dalam menjalankan tugasnya.


Menurut sejarah masyarakat Banten, suku Baduy ini adalah turunan dari Prabu Siliwangi yang dulunya kabur karena kerajaannya diserang oleh kerajaan Islam pada saat itu. Sang Prabu melarikan diri ke hutan belantara bersama para tentaranya, dan mereka pun mendirikan sebuah komunitas, yaitu Baduy yang dikenal saat ini. Suku ini tidak mengenal peralatan elektronik bahkan aliran listrik sekalipun.


Kegiatan mereka sehari-hari hanya bercocok tanam, tidak seperti petani lainnya, suku baduy tidak menggunakan sawah untuk menanam padinya. Ngahuma (menanam padi di tanah kering), itulah cara yang mereka lakukan untuk menanam padi. Sebelum menanam mereka melakukan upacara adat, tujuannya agar proses penanaman hingga panen diberkahi oleh Sang Hyang Widi (Tuhan mereka).


Setelah musim panen tiba maka mereka juga merayakannya dengan sebuah upacara adat, sebagai ucapan rasa syukur kepada Sang Hyang Widi. Setelah itu padi pun akan dimasukkan ke dalam sebuah gubuk khusus penyimpanan padi (leuit). Suku Baduy tidak pernah kekurangan beras, tidak ada yang berebut beras, setiap keluarga memiliki satu atau bahkan lebih leuit.

Padi yang di leuit tersebut ada yang berumur puluhan tahun, karena sangat banyaknya dan tidak termakan. Padi-padi ini tidak bisa dimakan oleh tikus, pemikiran mereka walaupun sederhana tapi prinsipnya sangat modern. Kaki-kaki leuit diberikan kayu seperti kepingan cd tapi agak tebal, sehingga tikus tidak bisa melewati kayu tersebut dan padi pun akan aman selamanya.


Leuit ini didirikan jauh dari komplek perumahan suku Baduy. Walaupun jauh dari pengawasan sang pemilik tapi padi-padi tersebut tetap aman, bagaimana tidak setiap keluarga memiliki satu bahkan lebih leuit.


Jumlah rumah suku Baduy tidak akan bertambah, jumlah di setiap desa kira-kira 40 unit rumah. Mereka akan tetap menetap di rumah mereka hingga mereka memiliki anak cucu, anak dan cucu mereka juga akan tetap tinggal di rumah itu sampai mereka tua. Bagi orang Baduy yang ingin menjalani kehidupan layaknya masyarakat biasa (memakai baju pasar, mendapat listrik, dan sebagainya) mereka wajib keluar dari desa tersebut.


Tidak ada larangan bagi mereka yang ingin keluar dari suku Baduy, tapi dengan syarat tidak boleh kembali lagi ke suku ini. Pakaian yang dikenakan suku Baduy berwarna putih, bagi laki-laki bajunya seperti jas tapi tidak ada lengannya dan celana seperti rok mini. Pakaian perempuan lebih tertutup daripada laki-laki, potongan dan warnanya sama.


Mereka juga memiliki hutan larangan, semua orang baik wisatawan bahkan suku Baduy sendiri tidak boleh masuk ke dalam hutan tersebut. Hanya keluarga Pu’un yang boleh masuk ke dalam hutan tersebut. Kepemimpinan yang dipakai suku Baduy seperti kerajaan, artinya bila ayahnya Pu’un maka anak laki-lakinya lah yang akan menggantikannya.


Suku ini tidak memiliki agama, mereka hanya percaya pada roh-roh nenek moyang mereka (animisme). Agama yang mereka anut disebut Sunda Wiwitan. Pu’un dianggap sebagai presiden kedua setelah presiden Republik Indonesia.


Tidak ada transportasi untuk mengangkut barang atau orang-orang Baduy, mereka hanya mengandalkan otot. Misalnya orang Baduy ingin ke Jakarta, maka yang dilakukannya adalah berjalan kaki. Walaupun sedikit demi sedikit mereka telah mengetahui uang, mereka hanya menggunakannya sebagai alat tukar dari oleh-oleh yang diperjual belikan ke wisatawan. Alat transportasi (mobil, motor) tidak digunakan sama sekali oleh mereka, mereka sangat takut bila berkendara akan ada balasan dari Sang Hyang Widi mereka.


Di siang hari, desa suku Baduy sangat lengang, hampir tidak ada orang yang tinggal di rumah, karena semuanya pergi ke kebun untuk bercocok tanam. Hanya beberapa orang yang tinggal untuk berjaga-jaga dan menyambut bila ada tamu yang datang. Mereka sangat sopan dan polos, selintas setiap permasalahan yang diucapkan sangat lucu tapi itu bisa dikatakan dasar suatu logika.


Saya beri contoh, rumah suku Baduy terbuat dari kayu yang dibuat sedemikian rupa dan atap dari pohon injuk pohon aren yang sangat mudah terbakar. Dapur mereka di dalam rumah, menggunakan hau (kompor dengan bahan bakar kayu). Lantai rumah panggung ini terbuat dari kayu juga, untuk dapur hanya dilapisi bahan-bahan yang anti bakar seperti bata atau lainnya.


Melihat keadaan seperti itu saya bertanya pada salah satu penduduk Baduy, kunaon dapur na jiga kitu, te sieun kahuruan (kenapa dapur nya seperti itu, apa tidak takut kebakaran)? Penduduk itu pun menjawab, te sieun kula mah, arek di luar geh wancina kahuruan mah pasti kahuruan, urang bae kudu rapih (saya tidak takut, walaupun di luar rumah juga saatnya kebakaran maka akan kebakaran, tinggal kita saja yang harus berhati-hati).


Contoh lainnya adalah tentang bercocok tanam, sebuah pertanyaan melintas dalam pemikiran saya mengapa mereka bercocok tanam dengan ngahuma. Apa jawaban mereka? Bila kita bercocok tanam dengan dicangkul maka cacing akan mati dan tanah tidak akan subur. Cacing lah yang menjadikan tanah itu subur, maka dalam bercocok tanam tanah tidak boleh dicangkul.


Tidak sembarangan wisatawan bisa datang ke suku ini, sebulan atau seminggu sebelum datang ke Baduy, wisatawan harus mengkonfirmasi ke penduduk di luar Baduy, apakah suku Baduy sedang melakukan upacara adat atau tidak. Suku Baduy memiliki beberapa upacara adat, ada yang boleh dilihat oleh umum dan ada yang tertutup untuk umum. Suatu keberhasilan bila kita datang di saat upacara adat yang terbuka untuk umum.


Wisatawan harus berjuang keras untuk sampai di suku Baduy ini, karena dari jalan raya wisatawan harus berjalan kaki, kira-kira 2km dengan jalur yang naik turun. Maklumlah, suku ini bertempat di pedalaman dan dikelilingi oleh pegunungan. Tapi keletihan perjalanan tersebut akan terbayar dengan melihat langsung kampung suku Baduy dan merasakan air minumnya yang segar.


Cobalah Anda datang ke suku Baduy ini, lihat apa yang mereka terapkan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Bawalah sistem kehidupan atau tata negara mereka, gunakanlah untuk Indonesia, niscaya Indonesia akan aman, damai, dan sejahtera.

3 komentar:

Wan-Du mengatakan...

baduy katanya penuh magis ya????
kalo gw pengen kesana lo mau kan nganterin????ongkos ditanggung sendiri,hehehe.gw pengen cari angin seger.

Anonim mengatakan...

saya tertarik dengan baduy, karena baduy itu salah satu suku di Indonesia yang unik.

Culture and Historical Studies mengatakan...

berwisata ke Baduy...gak pernah kepikiran...habisnya gak tau juga sih apa yang dapat ditunjang disana...habis pemerintah kurang mempublikasikan objek wisata yang ada sih...