Sabtu, 12 Januari 2008

Merajut Asa di Puncak Pangrango


Hijau pepohonan menyelimuti pandangan yang menyiratkan keasrian di jalan yang melewati pasar Cimacan itu. Desiran angin seakan membawa puluhan pendaki bersiaga menghadapi tajamnya udara di puncak yang dituju. Serta alunan riuh penduduk berdagang dibalik barang-barang yang ditawarkannya menambah semarak kehidupan di alam yang masih perawan.

Dalam perjalanan terlihat dengan jelas dua puncak ‘bersaudara’ (Gunung Gede dan Pangrango, red) tegak dengan gagah, menjulangkan kepalanya ke gumpalan awan yang tenang bertugas untuk menghindari “kakak-adik” dari sinar mentari. Di depan mata tanjakan curam menantikan peluh mengalir dengan deras. Paling tidak rasa lelah akan menghampiri para pendaki setiap langkah.

Pendakian ke Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Pangrango (3019 mdpl), yang berada di antara tiga Kabupaten, Bogor, Sukabumi dan Cianjur ini, tidak akan terlaksana jika pendaki tidak meminta surat ijin yang biasanya dipesan tiga hari sebelum mendaki. Identitas diri para pendaki harus lengkap diserahkan kepada kantor perijinan Taman Nasional Gede-Pangrango melalui faximili. Setelah para pendaki tiba di kantor yang berada tepat di bawah kaki kedua gunung tersebut, para pendaki langsung meminta surat yang mereka pesan dan membayar uang sejumlah Rp 7000 per orang.

Setelah surat perijinan berada ditangan pendaki setapak demi setapak pendaki gunung akan menuju pos pemeriksaan (check point) yang jaraknya sekitar lima menit perjalanan. Di pos pertama ini barang-barang diperiksa dengan teliti oleh petugas. “Coba dek lihat tasnya,” ujar seorang petugas yang berseragam coklat mirip seragam pramuka. “Takutnya ada yang bawa golok, trus bawa edelweiss dari atas,” tambahnya.

Hmm..! Pantas saja jika di Taman Nasional Gede-Pangrango disediakan pos pemeriksaan yang begitu ketat. Sebab Taman Nasional Gede-Pangrango adalah salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama. Juga merupakan salah satu dari lima taman nasional yang pertama kalinya diumumkan di Indonesia pada tahun 1980.

Selesai dengan pemeriksaan di check point, pendaki bersiap-siap serta memanjatkan doa kepada Tuhan yang telah menciptakan keindahan alam sekitar Gede-Pangrango yang oleh UNESCO ditetapkan sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977, dan sebagai Sister Park bersama Taman Negara di Malaysia pada tahun 1995.

Beberapa meter dari pos pemeriksaan terdengar para insecta bersahutan mengeluarkan bunyi yang mendamaikan jiwa. Semangat yang membara untuk menaklukkan puncak tertinggi kedua di Jawa Barat itu seakan meluluhlantahkan penat yang dirasakan. Alhasil, keringat pun berkucuran membasahi seluruh anggota tubuh.

Lambaian daun-daun pinus di antara jalan setapak berbatu mengisyaratkan ajakan tiada henti bagi para pendaki untuk terus berjuang. Walaupun tanjakan panjang yang bisa melemaskan kaki menanti setiap saat. Untungnya, terdapat beberapa pos peristirahatan yang setidaknya bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan tenaga atau untuk sekedar memanjakan tubuh.

Pos Peristirahatan

Setelah sekitar satu jam perjalanan dari pos pemeriksaan, terdapat pos peristirahatan pertama yang bernama Telaga biru. Asal muasal dinamakan telaga biru karena di pos ini terdapat sebuah telaga yang cukup besar, sekitar lima hektar dan berada di 1.575 mdpl. Telaga ini tampak kebiru-biruan diterpa sinar mentari karena ditutupi ganggang biru . Perjalanan dilanjutkan dengan melintasi sebuah jembatan kayu yang tersusun rapih dengan panjang sekitar satu kilometer.

Gemericik air di sungai yang tidak terlalu besar di samping jembatan kayu itu menambah pesona indahnya alam. Dari jembatan ini terlihat agungnya Gunung Gede dan Pangrango dari kejauhan. Dan tak jarang sebagian pendaki beristirahat ataupun sekedar mengabadikan gambar alam sekitar dalam kamera.

“Siapkah Anda Mendaki? Periksa Perlengkapan”. Kata-kata ini terpampang jelas pada papan yang berada di pos peristirahatan kedua, Panyangcangan Kuda. Di pos ini, jalur pendakian dibagi menjadi dua, ada jalur menuju pos Air Panas dan jalur satunya menuju Objek Wisata Air Terjun Cibereum. Terlihat dengan jelas jalan menanjak yang hanya berbatu dan dihiasi akar-akar besar pepohanan yang menjulang tinggi. Di akhir pekan, biasanya pos ini diramaikan para pengunjung yang akan berekreasi ke Wisata Air Terjun Cibeureum.

Ratusan pohon tinggi seperti jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan puspa (Schima wallichii) menyelimuti jalanan setapak nan curam menuju pos Air Panas (hot spring). Juga tumbuhan yang sering berada di pegunungan seperti pakis haji dan daun poh-pohan (bahasa Sunda). Pemandangan tidak mengenakkan terlihat ketika terdapat sebuah pohon besar tumbang. Tapi bukan karena ditebang manusia melainkan tumbang karena mungkin usianya yang telah tua atau dirobohkan angin kencang. Pohon tumbang ini makin mempersulit jalur pendakian karena mengahalangi jalan yang hanya setapak itu.

Di jalur ini pula para pendaki melewati kepulan asap uap beserta air panasnya yang mengalir membelah jalan setapak berbatu. Terdapat papan yang bertuliskan “Hati-hati Anda Memasuki Aliran Air Panas” yang diletakkan di dahan pohon. Hawa panas yang berasal dari aktivitas magma dalam bumi tersebut terasa menyegarkan. Namun, pendaki harus konsentrasi dan ekstra hati-hati agar tidak terpeleset dan jatuh ke jurang yang curam karena jalan yang amat licin. Namun jangan kuatir, untaian tali tambang akan membantu pendaki agar tidak terjerumus ke dalam jurang air panas.

Pos peristirahatan berikutnya adalah pos Kandang Batu. Untuk mencapai pos ini para pendaki membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam perjalanan.. Di pos ini, banyak pendaki yang sering tersesat. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa jalur yang terbagi (death way). Dan untuk mengantisipasinya, dibuatlah tanda dengan mengikatkan tali pada batang-batang pohon yang harus dilalui.

Setelah menempuh 2,4 km dan memakan waktu hampir dua jam dari pos sebelumnya, sampailah para pendaki di pos Kandang Badag. Nama Kandang Badag sendiri, diambil dari bahasa sunda yang berarti kandang besar. Di pos ini para pendaki biasanya mendirikan tenda untuk sekedar melepas lelah ataupun dahaga. Hal ini mengingat Kandang Badag merupakan pos terakhir sebelum puncak Gunung Gede ataupun Pangrango.

Setelah beberapa waktu berjalan dari pos Kandang Badag, kita akan menemukan papan petunjuk yang bertuliskan “Kiri Gunung Gede, Kanan Gunung Pangrango”. Disinilah yang membedakan antara jalur menuju puncak Gunung Gede dan Pangrango. banyak pendaki mengatakan bahwa track Gunung Pangrango lebih berat daripada Gunung Gede.

Butuh sekitar tiga jam lamanya menuju puncak Pangrango dari pos Kandang Badag. Di jalur ini, pendaki disuguhi pemandangan yang tak biasa ditemukan di bawah sana. Tumbuhan seperti rumput Isachne pangerangensis, bunga eidelweis (Anaphalis javanica), violet (Viola pilosa), dan cantigi (Vaccinium varingiaefolium) tersebar tak teratur.

Dan rasa lelah maupun letih yang telah memuncak pun hilang seketika, sesaat terlihat sebuah pondokan yang diatasnya terpampang papan bertuliskan “Puncak Pangrango 3019”. Puncak tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Gunung Ceremai itu berada di depan mata para pendaki yang mengeluarkan suara-suara penuh kegembiraan.

Jangan Lupa, Lembah Mandalawangi!

Gemuruh angin meniupkan butir demi butir tanah merah terbang mengikutinya. Edelweiss menari-nari bagai nyai sinden berjaipong ria. Taburan bunganya seakan menaburkan benih cinta bagi para pendaki.

Peluh, letih, gembira bahkan rasa cemas hinggap dalam pikiran setiap pendaki. Tak ada obrolan-obrolan tentang perasaan yang dapat terucapkan. Hanya suara-suara kebanggaan yang terdengar lirih di telinga. Anehnya, suara-suara itu terdengar setelah para pendaki telah menuruni sekitar 200 meter dari puncak pangrango.

Pendaki gunung pasti gembira jika telah berada di puncak sebuah gunung. Mereka akan mendirikan tenda dan menginap di ujung pendakian tersebut. Namun tidak demikian jika mendaki Gunung Pangrango. Puncak bukanlah akhir pencapaian, melainkan jalan yang harus ditempuh untuk bisa mencapai sebuah tempat yang sangat terkenal, yaitu Lembah Mandalawangi.

Hamparan savana yang bertabur edelweiss lima belas menit ke arah bawah timur dari puncak Pangrango tersebut merupakan tempat yang diidam-idamkan oleh para pendaki. Hingga mata seakan rabun karena pesona yang mengisyaratkan kemegahan sang pencipta yang menabur jutaan cinta dalam setiap putiksari edelweiss. Pantas saja So Hok Gie merekam semua keindahan Pangrango dalam sebuah petuah bijak, “Aku mencintai Pangrango karena aku mencintai keberanian hidup.”

2 komentar:

sepatu kaca mengatakan...

panjang banget bang!!!
pusing tau bacanya!!!
jangan panjang2 ah....

Culture and Historical Studies mengatakan...

emang kenapa di pangrango..
merajut seperti benang saja..
pokoknya sukses ya pada dakian berikutnya..
semoga selamat sampai tujuan..